Ada Apa Dengan Kasus Bunuh Diri?
“Dalam seminggu, ada dua kasus bunuh diri terjadi.” Minggu ini, publik dikejutkan dengan kasus bunuh diri yang terungkap dan
Sahabat GueTau, sudah baca artikel mengenai bunuh diri ini sebelumnya? WHO sejak tahun 2003 telah menganggap issue bunuh diri ini sebagai sebuah issue yang sangat serius, bekerjasama dengan International Association of Suicide Prevention (IASP) maka dimulailah Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia pada setiap tanggal 10 September. Setiap tahunnya, IASP mengeluarkan tema-tema yang berbeda untuk merayakan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Tema tahun ini sendiri adalah Stigma : Rintangan Besar untuk Pencegahan Bunuh Diri.
Berdasarkan data dari WHO, bunuh diri telah menjadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat di negara berpenghasilan tinggi dan menjadi masalah yang terus meningkat jumlahnya di negara berpenghasilan rendah dan sedang. Bunuh diri telah menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi, terutama pada anak muda. Hampir satu juta orang meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri. Ini berarti kurang lebih setiap 40 detik terdapat 1 korban bunuh diri. Jumlah ini melebihi daripada jumlah akumulasi kematian akibat pembunuhan dan korban perang. Penulis menemukan setidaknya 22 berita dari berbagai website mengenai aksi bunuh diri yang dilakukan remaja dengan rentang usia 12 – 23 tahun sepanjang Januari hingga November 2012 dan terdapat setidaknya 20 kasus bunuh diri yang dilakukan oleh pelajar dari berbagai daerah di Indonesia dengan rentang usia 15 – 18 tahun sepanjang Januari – Mei 2013. Bayangkan berapa banyak peningkatan yang terjadi di tahun 2013 dan perlu dicatat lagi bahwa ini semua hanyalah data yang didapatkan dari berita yang terekspos oleh media. Jumlah ini belum termasuk semua bunuh diri yang tidak terekspos oleh media dan percobaan bunuh diri yang tidak berakhir kepada kematian.
Banyak jumlah orang yang menjadi korban bunuh diri menderita dari gangguan kejiwaan sebelumnya. Perkiraan terkini menunjukkan bahwa beban penyakit yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan akan mencapai 25% dari total penyakit di dunia dalam dua dekade berikutnya, membuatnya akan menjadi memasuki kategori penting, bahkan lebih penting daripada kanker dan penyakit jantung. Sayangnya, banyak jumlah orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan meninggal akibat bunuh diri ini tidak menghubungi pelayanan kesehatan terdekat. Hal ini disebabkan karena pelayanan kesehatan jiwa sendiri masih sangatlah terbatas. Kondisi di Indonesia sendiri nih, sahabat GueTau, asumsi jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) se-Indonesia telah mencapai 1 juta orang. Diduga, pada tahun 2007, 14,1% penghuni Jakarta memiliki gangguan jiwa dan angka ini semakin meningkat. Sementara itu, di tahun 2013 ini, 22% penduduk Jawa Barat telah mengalami gangguan jiwa ringan. Trend peningkatan jumlah penghuni panti untuk ODGJ pun mulai menanjak. Penghuni Panti Harapan Sentosa 2 Sosial Bina Laras yang menangani pasien ganggunan jiwa di Jakarta Timur, setiap bulannya meningkat 5 sampai 10 persen. Terlalu banyak kasus gangguan jiwa, namun disinyalir ruang perawatan yang tersedia hanya 90.000 tempat di seluruh Indonesia.
Sedikitnya akses pelayanan kesehatan jiwa yang layak ini menjadi salah satu dari sekian banyak faktor yang meningkatkan stigma terkait gangguan jiwa dan perilaku serta gagasan bunuh diri. Stigma sejenis ini berakar di banyak masyarakat dapat muncul untuk banyak alasan berbeda. Salah satunya tentu saja karena kekurangan pengetahuan dan ketidakacuhan kita semua. Stigma sejenis ini dapat diatasi dengan mengadakan program edukasi berbasiskan komunitas yang ditargetkan khusus kepada populasi tertentu di dalam komunitas (misalnya berdasarkan umur, tingkat pendidikan, lembaga keagamaan, orientasi seksual, dan lain sebagainya). Tujuan dari program ini sendiri adalah untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai karakteristik dan perawatan untuk orang dengan gangguan kejiwaan ataupun orang dengan masalah perilaku bunuh diri serta ketersediaan sumber bantu individu dengan masalah sejenis.
Prasangka negatif terhadap orang yang melakukan bunuh diri dan gangguan kejiwaan seperti dianggap orang yang berdosa, putus asa, lemah, dan bodoh sangatlah banyak beredar di banyak komunitas. Stigma pada tingkat pemerintahan dan pelayanan kesehatan bahwa orang dengan masalah kejiwaan dan perilaku bunuh diri adalah orang yang tak bisa ditolong dan tak bisa disembuhkan juga dapat menjadi masalah tersendiri, seperti perawatan yang kurang maksimal, kurangnya kebijakan yang berpihak kepada pasien gangguan jiwa, kurangnya alokasi dana untuk kesehatan jiwa, bahkan hingga kriminalisasi kepada korban bunuh diri masih berlaku di beberapa negara hingga saat ini. Sikap negatif seperti ini seringkali tidak banyak berubah dengan edukasi mengenai kesehatan jiwa dan perilaku bunuh diri yang membongkar mitos dan fakta.
Oleh karena itu, banyak ragam aktivitas yang dilakukan oleh berbagai negara di belahan dunia untuk merayakan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, seperti :
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia sendiri, tahun 2013 ini telah dimulai gerakan pertama oleh anak muda untuk issue kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri. Berkerjasama dengan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta LGBTIQ Support Group, Into The Light adalah sebuah gerakan bertemakan “Hapus Stigma, Peduli Sesama, Sayangi Jiwa” yang merancang beberapa jenis promosi untuk peningkatan kesadaran publik terhadap pencegahan bunuh diri, di antaranya adalah :
Dengan kehadiran rangkain event menyambut Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia ini, semoga semakin banyak pihak terutama anak muda yang menyadari pentingnya kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri di Indonesia. Karena satu nyawa generasi muda penerus bangsa yang hilang berarti terlalu banyak untuk semua.