
Tugas? Sekarang? Selesai? Buat apa? Kan masih ada waktu seminggu lagi!
Yeah, buat apa juga kita selesaikan tugas hari ini kalau tenggat waktunya saja masih lama? Kita kan masih sibuk dengan banyak hal lainnya. Sebagai remaja aktif, kita tentunya punya banyak aktivitas sehari-hari: bantu orang tua, hang out bareng teman, rapat organisasi, plus tentu saja kita harus update status di Facebook dan nge-twit di twitter, biar fans-fans kita tahu kita ngapain aja seharian. Apalagi kalau udah punya pacar, wuih, jadwal ngapel itu harus dipenuhi, kalau nggak, nanti pasangan bisa kedinginan dan kesepian tanpa kehangatan dan kehadiran kita di sisinya.
Hingga pada akhirnya: OH MY GOD! WHAT I’VE DONE!? INI TUGAS BESOK HARUS SELESAAAI!
Pernah alami peristiwa seperti ini sebelumnya?
Sudah sering?
Don’t worry, you’re not alone.
Faktanya, justru terdapat peningkatan dalam perilaku menunda di masyarakat. Jika kita lihat data tahun 1970-an, terdapat hanya 5% populasi yang berpikir bahwa mereka sangat sering menunda aktivitas mereka. Kenaikan angka yang drastis terjadi hingga pada tahun 2012 ini, tercatat ada lebih dari 25% yang menyatakan mereka seringkali menunda pada tingkat yang sangat parah (Steele, 2012). Jika kamu suka menunda pekerjaanmu, dietmu, perintah yang dimandatkan kepadamu, atau bahkan keinginanmu sendiri untuk melakukan suatu hal, maka selamat, kamu termasuk dalam golongan orang yang mengikuti tren. Give yourself a standing applause!
Kalau kamu mulai khawatir dengan efek penundaan yang bisa berakhir kepada stres, rasa bersalah, kehilangan minat untuk menjadi lebih produktif, dan kurang disukai oleh orang lain karena gagal memenuhi tanggung jawabmu, serta mencegahmu hidup hingga maksimal (Alexander, 2012), mulailah sadari bahwa kebiasaan ini harus segera dihentikan. Jangan lagi menunda menghentikan penundaan.
Penundaan ini bermula saat kita berniat untuk melakukan suatu hal, tapi saat tiba waktunya, alih-alih kita bertindak, kita malah tersesat di antara hal-hal yang seharusnya tidak kita lakukan. Kita berpikir modal keinginan dan motivasi saja cukup untuk menyelesaikan sesuatu, tapi kenyataannya tidaklah semudah itu. Diri kita punya kemampuannya sendiri untuk memilih mewujudkan niat itu ataupun menundanya (Pychyl, 2011). Ya, hanya diri kita sendirilah yang bisa memutuskan untuk berhenti menunda, bukan motivator yang dibayar mahal untuk menceramahimu, bukan orang tua, dosen, atau atasan yang mengomelimu untuk selesaikan semuanya tepat waktu. It’s all about you, yourself, and your choice which can change your behavior!
Mengubah kebiasaan menunda ini memang tidak mudah, sekali kita tergoda untuk menunda sebuah pekerjaan, godaan untuk menundanya lagi dan lagi akan sama kuatnya. Lebih anehnya lagi, biasanya kita semua sudah mengerti apa efek buruk dari menunda, tapi kita terus saja melakukannya (Smith, 2011). Hal ini terjadi karena penundaan tidak melibatkan aspek kognitif/rasional apapun juga, seluruhnya aspek emosi kita. Kita terus mengatakan akan melakukan suatu hal di saat kita MERASA NYAMAN untuk melakukannya, meski di dalam pikiran kita sendiri kita menyadari konsekuensi logis apa yang akan terjadi dari penundaan (Pychyl, 2011).
Perasaan ingin nyaman dengan tidak melakukan tugas sesegera mungkin biasanya bertentangan dengan kesadaran akan adanya konsekuensi logis dari penundaan, sehingga sering menimbulkan ketegangan di dalam diri kita. Tapi untuk mempertahankan rasa ingin nyaman ini, tanpa kita sadari, kita sering membuat alasan untuk menunda-nunda pekerjaan. Kita terus-menerus membohongi diri sendiri, seperti: “Ah tugasnya gampang kok, nanti juga bisa selesai dengan cepat”, “Tunggu yang lain juga kerjain deh, biar bisa barengan”, “Nanti pasti gue kerjain, setelah main game yang satu ini”. Untuk menunggu “waktu dan mood yang tepat” yang sayangnya tidak kunjung datang untuk mengerjakan pekerjaan kita. Hingga pada akhirnya, tiba detik-detik terakhir untuk menyelesaikan tugas, kita malah merasa terdesak dan menyesal tidak mengerjakannya lebih awal. Dari semua proses ini, kita bisa melihat bahwa saat menunda pekerjaan, kita hanya fokus kepada kenyamanan sesaat yang berefek buruk (Pychyl, 2011).
Ada beberapa hal yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk mencegah kebiasaan penundaan ini. Satu hal yang pasti adalah jangan sampai kamu mengerjakan hal yang tidak kamu sukai. Pilihlah fakultas yang kamu minati untuk menyelesaikan studimu. Ambil pekerjaan dimana kamu bisa eksplorasi diri dan mengembangkan minat-bakatmu. Tapi memang seringkali pilihan-pilihan seperti itu juga harus terbatas karena beberapa hal. Jadi, jika kamu merasa hendak menunda lebih banyak lagi pekerjaan yang seharusnya kamu selesaikan, cobalah untuk menerapkan beberapa hal di bawah ini (Steele, 2012 ; Pychyl, 2011):
Dengan terus menerus menunda pekerjaan, kita terus menahan tindakan kita lebih lama. Akibat penundaan yang terus kita lakukan, malah menghabiskan seluruh waktu hidup kita dengan sia-sia. Sebagai generasi muda yang memiliki banyak kesempatan untuk beraktualisasi diri, penundaan terhadap aktivitas sehari-hari bisa menjadi sebuah penghalang untuk kita bisa mengoptimalkan potensi diri kita. Jadi, tunggu apa lagi? Cepat laksanakan semuanya sekarang juga! 🙂
___
Benny Prawira, seorang mahasiswa psikologi angkatan 2011, Universitas Bunda Mulia. Twitter @Ben_Evolence, FB account: Benny Prawira Siauw.