Kala Cinta Jadi Derita

posted on 21/03/2013

A loving relationship is one in which the loved one is free to be himself — to laugh with me, but never at me; to cry with me, but never because of me; to love life, to love himself, to love being loved. Such a relationship is based upon freedom and can never grow in a jealous heart.
Leo F Buscglia

Sahabat GueTau, pernah nggak sih kalian dengar cerita mengenai cewek cantik yang rela menderita dipukuli, dihina, direndahkan, atau bahkan digunakan untuk kepentingan pribadi hingga diperkosa dalam hubungan bersama seorang cowok yang bahkan terlihat jauh lebih rendah levelnya daripada cewek? Atau mungkin pernah mendengar satu sosok cowok yang rese banget, nggak bisa hargai wanita, playboy, dan bahkan dah terkenal seantero jagad bandelnya, tapi malah bisa punya cewek yang setia banget diselingkuhin? Kalau teman-teman dari LGBT mungkin juga pernah dengar mengenai pasangan LGBT dimana salah satu pihak sangat diuntungkan sementara pihak lainnya sangat dirugikan? Semua ini adalah bentuk abusive relationship, abuser, victim dan lingkaran setan yang akan kita bahas bareng untuk Sahabat GueTau kali ini.

Pertanyaan yang mungkin beredar pertama kali adalah apa pengertian dari abusive relationship itu sendiri. Abusive relationship adalah segala macam bentuk hubungan (pacaran dan rumah tangga di dalam artikel ini) yang dipenuhi dengan penyiksaan. Menurut para ahli dan psikolog, penyiksaan tersebut tidaklah selalu berbentuk fisik, namun bisa secara emosional, verbal, seksual maupun finansial. Semua bentuk penyiksaan ini biasanya akan semakin meningkat jika dibiarkan.

Lalu, kenapa para korban menunggu kekerasan dan penyiksaannya semakin meningkat?

Hal ini biasanya disebabkan karena setelah pertama kali terjadi penyiksaan, si abuser berusaha untuk menyakinkan si korban. Bermanis-manis ria, berjanji tidak akan melakukan kesalahannya lagi, lalu hingga akhirnya memasuki fase dipenuhi ketegangan, si abuser “meledak”, dan terjadilah penyiksaan itu lagi. Bahkan bisa saja penyiksaannya akan semakin menjadi jika ia mulai mencium adanya ancaman atau kemungkinan pasangannya akan meninggalkan dia atau melakukan tindakan yang menentangnya.

Tak jarang, para korban tinggal di dalam hubungan yang penuh fluktuasi ini karena drama di dalam hubungan ini membuat mereka merasa penting. Merasa signifikan bahwa dirinya ternyata masih dicintai setelah disiksa meski biasanya akan memutar-mutar dalam siklus dicintai-disiksa-dicintai-disiksa terus menerus. Merasa penting bahwa dirinya bisa menjadi pejuang “cinta sejati” meski titik darah penghabisan.

Semua fluktuasi ini juga bisa membuatnya terlalu sibuk mengamati hidup orang lain agar tidak punya waktu mengamati kesalahan dan kelemahannya yang menyebabkan rasa tidak aman pada diri sendiri. Jadi, untuk dapat menciptakan ilusi seolah-olah aman (secure) dan tidak bermasalah, korban cenderung menuding-nuding perilaku ketidakdewasaan sang pasangan dan membicarakan panjang lebar dengan teman-temannya yang mungkin juga sudah sering mendengarkan curhatannya yang membenci pacarnya tapi terus kembali ke orang yang sama atau mungkin mencari orang lain yang karakternya serupa dengan mantannya yang abuser.

Semua fluktuasi dalam abusive relationship ini juga bisa digunakan untuk mekanisme pertahanan ketika sudah terpojok kebingungan menghadapi situasi penyiksaan yang sama. Di fase seperti ini, biasanya korban justru akan semakin sulit keluar dari penyiksaan dengan mudah, karena dari penyiksaan inilah mereka merasa  mengalihkan energinya dalam sebuah pelampiasan drama emosional yang meledak-ledak, dengan harapan orang lain bersedia memperbaiki keadaan untuknya. Semakin menderita dirinya, semakin banyak perhatian yang ia dapat, maka akan semakin senang dirinya menyadari betapa pentingnya ia bagi orang lain, betapa banyaknya orang akan memperbaiki keadaan untuknya. Padahal, tidak ada satupun orang yang bisa membantu si korban keluar, kecuali dirinya sendiri mengatakan untuk berhenti dan memutus pola hubungan ini.

Bisa juga karena sang korban berpikiran bahwa seburuk apapun pasangannya, paling tidak ia bisa mendapatkan tempat tinggal dan dipenuhi kebutuhan dasar untuk hidupnya. Hal ini disebabkan karena ketergantungan yang bisa saja sengaja digunakan oleh abuser sejak awal hubungan untuk mengikat si korban. Bisa jadi juga korban berpikir setidaknya dia tak perlu lagi menjadi kesepian karena harus mencari pasangan baru yang bisa mencintainya, sehingga ia tetap bersama pasangan yang sekarang ini dianggap masih mencintainya padahal jelas-jelas sudah sering disiksa.

Semakin seseorang itu tidak sadar dan berinisiatif untuk membela dirinya dari segala macam bentuk penyiksaan ini, maka akan semakin sulit pulihnya kembali karena penyiksaan yang berlangsung lama dan intensif akan menimbulkan persoalan kritis menyangkut self-esteem, rasa percaya diri, dan sense of identity-nya. Kekuatan psikis dari si korban biasanya akan semakin melemah sampai akhirnya dirinya yang jadi korban sudah hilang keberanian untuk keluar dari situasi tersebut.

Melihat kenyataan ini semua, maka tak heran sering sekali ditemui ketika korban penyiksaan ini mencari tempat curhat, mereka memiliki motivasi di awal untuk berusaha mendapatkan solusi tapi pada akhirnya malah kembali lagi ke pasangan yang menyiksanya. Makin lama si korban akan semakin tergantung pada pihak yang dominan meski membuatnya menderita.

Tak jarang si korban yang telah terbiasa dan terperangkap dalam pola abusive relationship ini malah memarahi orang yang menjadi tempat curhatnya dan membela pasangannya sendiri. Hal ini karena identitasnya telah dihancurkan oleh si penyiksanya, menganggap keduanya sebagai sebuah kesatuan di dalam pola abusive relationship yang ditakuti akan hilang tanpa disadari olehnya. Aneh tapi nyata, si korban seperti mempelajari ketidakberdayaan untuk keluar dari semua dinamika hubungan yang menyiksa ini bahkan jika sebenarnya korban memiliki kesempatan dan celah untuk keluar, korban bisa jadi malah menolak untuk keluar!
Nah, Sahabat GueTau, semakin korban sering disiksa, maka sang dominator/abuser akan semakin menjadi-jadi sikap dan perilakunya, karena melihat pasangannya semakin tidak berdaya, lemah, menyerahkan diri bulat-bulat, dan mudah dihancurkan. Jika awalnya hanya berani menggunakan kata-kata kasar, bukan tak mungkin menjadi tindakan kasar, seperti menampar. Tamparan pun bisa meningkat lagi ke pukulan bogem mentah. Jika korban disiksa secara psikologis/emosional, bisa saja awalnya korban hanya sekedar diremehkan, tapi malah semakin menjadi dengan diselingkuhi, dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, hingga memblokir akses komunikasi korban dengan orang lain. Penyiksaan yang awalnya dilakukan di ruangan private saat berdua pun akhirnya bisa saja terjadi di ruang publik.

Di kebanyakan kasus, biasanya ada masalah psikologis yang dialami oleh kedua pasangan (bukan salah satu atau sekedar yang menjadi pelaku). Entah itu karena pola asuh yang salah sehingga memunculkan kepribadian yang rentan menjadi korban atau karena trauma di-abuse di masa lalu yang tak terselesaikan sehingga menjadi dendam di dalam diri abuser. Tentunya masih banyak sebab-sebab yang terjadi di dalam kehidupan setiap individu yang bisa saja memicu perilaku abusive ataupun kecenderungan menjadi korban yang “nyaman dalam penderitaan” Jika semua masalah psikologis ini tak dituntaskan melalui terapi, maka baik abuser maupun korban akan memiliki kecenderungan untuk mengulang pola abusive relationship dengan tanpa sadar mencari pasangan yang sesuai untuk disiksa ataupun menyiksa dirinya.

Psikoterapi dan konseling biasanya hanya bersifat membimbing para abuser dan korban agar bisa keluar dari lingkaran setan yang merusak kualitas hubungan interpersonal mereka. Para abuser tak bisa diubah oleh orang lain, apalagi oleh korban yang rela membuktikan cintanya dengan terus disiksa agar ia berubah, hanya kesadarannya sendiri yang akan mengubahnya. Begitu pula korban, hanya mereka sendiri yang sepenuhnya bisa menghentikan pola ketergantungan terhadap abuser, menikmati fluktuasi emosi dalam hubungan mereka dengan cara yang lebih sehat, dan memperbaiki semua trauma yang mereka alami akibat siksaan yang terjadi.

 ___

Ditulis oleh: Benny Prawira, Kontributor Guetau.com

 

 

related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *