Terapi Ramah Homoseksual

posted on 16/01/2013

Ada sebuah perasaan yang menggelora di dadamu saat kamu baru membuka mata. Sangat membuatmu melayang-layang ketika pikiranmu berada di awang-awang memikirkan seseorang. Kamu tersenyum dan malu sendiri saat membayangkan ia tersenyum dengan sangat manis ke arahmu.

Hingga akhirnya kamu menyadari bahwa orang itu, yang membuatmu jatuh cinta, memiliki jenis kelamin yang sama denganmu. Bingung langsung menghantuimu kenapa kamu bisa seperti itu padahal guru dan kedua orangtuamu mengajarimu bahwa manusia selalu berpasangan lawan jenis. Kamu pun takut terbayang reaksi orang lain jika mengetahui ini semua. Menyadari perasaanmu tak bisa diungkapkan ke orang yang bersangkutan, akhirnya kamu memilih untuk memendamnya dengan sangat menyakitkan.

Tak ada tempat untuk bercerita.

Tak ada jaminan bahwa mereka yang mendengarkan tidak akan menghakimimu.

Menyedihkan?

Itu baru satu dari sekian banyak kasus buruk yang biasanya dihadapi oleh remaja homoseksual di dalam hidupnya.

Banyak sekali gay dan lesbi dewasa yang bertanya-tanya apakah dulunya mereka heteroseksual dan mereka berusaha untuk menekan orientasi seksual mereka sendiri dengan mencoba membangun heteroseksualitas dalam diri mereka (Carver, Egan, Perry, 2004). Penerimaan diri terhadap orientasi yang berbeda dari masyarakat kebanyakan ini adalah sebuah  tantangan besar bagi remaja homoseksual. Mereka berjuang melawan perasaan bahwa ada yang salah dengan diri mereka sehingga akhirnya menyebabkan masalah kepada harga diri mereka sendiri (Baumeister, 200, hal 268). Tidak jarang pula, di dalam perjuangan menerima diri sendiri ini, para homoseks berakhir ke pencobaan bunuh diri. Tercatat bahwa 30% remaja homoseks mencoba bunuh diri karena krisis identitas seksual mereka. Bahkan juga diketahui bahwa remaja homoseks memiliki kemungkinan untuk bunuh diri daripada remaja lainnya.

Penerimaan diri terhadap orientasi seksual memang merupakan salah satu masalah paling mendasar dalam kehidupan semua homoseks. Remaja yang membentuk identitas gay dan lesbian cenderung akan merasa lebih nyaman daripada homoseks yang menolak orientasi seksualnya sendiri (Rosario, Schrimshaw, Hunter dan Braum, 2006). Tapi pada kenyataannya, justru masih banyak juga yang gagal melampauinya proses penerimaan diri dan mengalami konflik hebat di dalam dirinya.

Meski demikian, proses penerimaan diri ini tapi tetap  lebih mudah dilakukan daripada coming out yaitu sebuah proses memperkenalkan orientasi seksualnya kepada orang lain (Bohan, 1996). Kepada keluarga misalnya. Orang tua akan cenderung merasa marah dan bermasalah dalam menerima orientasi seksual anak mereka saat anak mereka melakukan coming out. Mereka akan merasa seperti dipaksa untuk menerima sebuah hal yang tak bisa terima dalam seksualitas anaknya. Meskipun demikian, orang tua bisa juga menjadi sangat menerima dan supportif kepada anaknya melalui proses dan waktu (Freedman, 2008).

Di dalam pergaulan pun, sangat wajar sekali teman-teman bisa bereaksi sangat negatif dan melalukan bullying baik fisik maupun verbal (Goodenow, Szalacha dan Westheimer, 2006). Menurut data statistik dari www.bullyingstatistic.org, setelah dibully biasanya remaja homoseksual akan menjadi lebih sering membolos. 28% dari korban bullying ini bahkan drop out dari sekolah.

Semua permasalahan ini bisa mengakibatkan si remaja homoseksual mengalami stress berlebihan daripada remaja lainnya. Sangat mungkin sekali stress jadi menyebabkan banyak gangguan dalam pergaulan, belajar, hingga menyebabkan si remaja mencapai tahap depresi. Di saat-saat krisis seperti inilah dibutuhkan bantuan dari seorang psikolog untuk bisa menstabilkan kembali keadaan remaja homoseks ini. Namun, sangat disayangkan sekali, masih ditemukan sekitar 58% psikolog yang memiliki bias negatif terhadap homoseks sehingga mereka seringkali tidak melihat permasalahan sesungguhnya dari klient homoaseks mereka dan menganggap semua klient homoseks mereka ingin menjadi heteroseksual (Garnets, Hancock, Cochran, Goodchilds, Peplau, 1991)*.

Kita semua tentunya mengharapkan akan adanya pelayanan kesehatan baik fisik maupun mental yang ramah terhadap remaja di dalam seksualitas dan reprodruksi. Kajian orientasi homoseksual sudah dikeluarkan dari daftar abnormal sejak lama, bahkan American Psychological Association pun telah menyatakan sikapnya untuk mendorong para psikolog menghancurkan stigma abnormal pada homoseksual ini (Conger, 1975). Tapi hal ini tetap saja tidak menutup fakta bahwa banyak psikolog di luar sana yang masih terhalangi oleh bias saat melakukan psikoterapinya.

Melihat betapa pentingnya pertumbuhan identitas positif homoseksual dan juga hubungan yang sehat antara sesama jenis, maka perlahan-lahan dibentuklah sebuah terapi baru yang ramah terhadap homoseksual dengan nama Gay Affirmative Therapy (GAT) (De Crescenzo, 1983-1984 , Maylon, 1981-1982). Ramah terhadap homoseksual bukan berarti sekedar gay friendly dan menerima orientasi seksual yang berbeda itu secara positif, tapi juga meliputi pengertian terhadap berbagai bentuk keragaman hubungan homoseksual yang tentunya akan sangat berbeda daripada hubungan heteroseksual. Psikolog yang menjadi terapist klient homoseksual diharapkan untuk sensitif terhadap konsekuensi sosial yang harus dihadapi oleh klient homoseksual seperti homophobia, termasuk internalized homophobia yaitu homophobia yang sudah mendarah daging di dalam diri homoseksual sendiri sehingga menghalangi dirinya untuk menerima orientasi seksualnya (Gonsiorek, 1988).

Menurut Shanoon dan Woods (1991), di dalam GAT ini psikolog juga akan berusaha untuk memahami sehatnya sebuah hubungan antara sesama jenis di dalam aspek komitmen, saling menghargai, mengekspresikan perasaan serta kemampuan resolusi konflik. Feminist therapy juga bisa menjadi pendukung untuk membantu lesbian lebih mengerti mengenai pengaruh seksisme dan homophobia kepada diri mereka (Browning, 1991). Para ahli GAT juga telah mengembangkan teknik terapi mereka untuk mencakupi ke permasalahan hubungan seksual (Hall, 1988, Reece, 1988), penyalahgunaan alkohol (Glaus, 1988/1989, Kus, 1990) hingga penyiksaan fisik (Hammond, 1988, Marrow dan Hawthurst, 1989).
Kabar baiknya adalah meskipun gay affirmative therapy hanya dikhususkan ke klient homoseksual, tapi psikolog non homoseksual pun bisa saja mempelajarinya. Selama psikolog ini memiliki pengetahuan mengenai hubungan homoseksual, sensitif terhadap keberagaman dan memperdalami pendekatan terapi yang efektif untuk setiap klientnya (Fassinger, 1991). Jadi sebenarnya, tidak perlu lagi takut ataupun ragu untuk datang ke psikolog heteroseksual selama psikolog tersebut memiliki keahlian di dalam GAT ini.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Mari kita tunggu saja kabar lebih baik mengenai adanya sertifikasi GAT ini di kalangan psikolog agar remaja homoseksual tak perlu ragu lagi untuk bisa berkonsultasi dengan psikolog yang memahami dinamika kehidupanmu. Sebelum itu semua terjadi, mari bergabung dengan para straights yang akan mendukungmu apa adanya sebagai seorang homoseksual di page facebook www.facebook.com/BeStraightBeProud dan follow twitter @StraightProudID untuk mendapatkan lebih banyak informasi mengenai aspek psikologis LGBT.
*Penelitian dilakukan di Amerika pada tahun 1991, persenan yang tertera tidak mewakili jumlah psikolog Indonesia yang memiliki sikap homophobia.

___

Ditulis Oleh: Benny Prawira

related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *