Tes Keperawanan: Bentuk Diskriminasi pada Perempuan

posted on 01/03/2015

keperawanan1

Tapi bisakah tes keperawanan menjadi tolok ukur moralitas? Lalu, apakah seorang perempuan yang gagal dalam tes itu disebut tidak bemoral?”

Di Indonesia, wacana mengenai tes keperawanan sudah beberapa kali muncul. Dari tahun 2007 hingga awal 2015, sudah ada 4 daerah yang mengusulkan tes keperawanan pada siswi untuk masuk dalam Perda, yakni Indramayu (2007), Jambi (2010), Prabumulih (2013), dan Jember (2015). Namun, hingga saat ini, tidak ada satu pun yang akhirnya menjadi Perda. Karena wacana mengenai tes keperawanan selalu menjadi kontroversi.

Pendukung wacana ini berpendapat bahwa dengan adanya tes keperawanan sebagai syarat masuk atau lulus sekolah, para siswi yang ingin melakukan hubungan seksual berisiko akan berpikir 2 kali. Tapi bisakah tes keperawanan menjadi tolok ukur moralitas? Lalu, apakah seorang perempuan yang gagal dalam tes itu disebut tidak bemoral?

 

Saat Keperawanan Distandardisasi

keperawanan2

Dalam masyarakat, ada kerancuan mengenai definisi perawan. Umumnya, perempuan yang disebut perawan adalah yang belum pernah berhubungan seksual dengan pria. Tapi jika definisi ini yang dipakai, bagaimana tes keperawanan bisa dilakukan? Selain pengakuan dari subjek, kita tidak akan tahu apakah dia sudah pernah melakukan hubungan seksual atau belum.

Mengapa? Karena keperawanan tidak bisa diukur dengan melihat selaput dara. Ya, fakta ini berbeda dengan mitos yang ada, yang mengatakan bahwa selaput dara yang telah robek, mengindikasikan perempuan itu tidak lagi perawan. Sebab banyak alasan mengapa selaput dara bisa robek. Misalnya karena masturbasi  atau organ kelamin pernah terbentur, baik karena jatuh atau kecelakaan.

Selain itu, faktanya, organ kelamin tidak persis sama antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini, selaput dara juga begitu. Ada perempuan yang dilahirkan dengan selaput dara yang elastis sehingga meski dia pernah melakukan hubungan seksual, selaput daranya tidak robek. Tapi ada pula perempuan dengan selaput dara yang kaku sehingga mudah robek. Lagipula saat ini sudah ada teknologi yang dapat membuat selaput dara kembali menjadi “perawan”. Jadi semakin tidak ada korelasi bukan antara keperawanan dan selaput dara?

Dan bagaimana dengan perempuan yang pernah mengalami kekerasan di masa lalu? Di mana seperti kebanyakan korban kekerasan seksual lainnya, dia tidak pernah memberitahukannya pada orang lain, baik karena tidak tahu bahwa dia telah menjadi korban ataupun karena malu, merasa kotor, dan takut disalahkan oleh masyarakat dengan dianggap tidak bermoral dan telah menggoda pelaku. Apa dia juga harus melakukan tes keperawanan?

 

Tes Keperawanan: Bentuk Diskriminasi pada Perempuan

keperawanan3

Semua orang mempunyai hak asasi yang melekat di tubuh sejak lahir sampai mati. Hak kepemilikan dan tanggung jawab atas tubuh sendiri juga merupakan HAM. Jika tes keperawanan dilakukan, bukankah itu artinya telah melanggar hak perempuan atas tubuhnya? Dengan memaksa seorang perempuan untuk memperlihatkan organ kelaminnya pada orang lain, itu tidak bisa dibenarkan. Karena perempuan selalu punya hak atas tubuhnya sendiri. Dan tidak ada yang boleh melanggar hak itu.

Selain itu, jika tes keperawanan tetap dilakukan, dan ada siswi yang gagal, maka imbasnya akan sangat besar. Pertama, tes ini akan melanggar hak siswi untuk mendapatkan pendidikan yang layak karena jika gagal dalam tes, maka dia hampir dipastikan akan keluar dari sekolah, baik karena dikeluarkan maupun karena didera rasa malu. Kedua, meski disebutkan bahwa hasil tes akan dirahasiakan, tapi selalu ada kemungkinan hasil itu akan bocor sehingga banyak orang akan menganggap siswi itu tidak bermoral. Stigma negatif seperti itu juga akan berujung pada tindakan diskriminatif di masa depan.

keperawanan4

Daripada membuat aturan untuk melakukan tes keperawanan atau keperjakaan yang mustahil dilakukan, akan lebih mudah untuk memberikan pendidikan seksualitas yang komprehensif dan ramah remaja pada siswa dan siswi. Dengan membuat mereka memahami Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang dimiliki beserta isu terkait seksualitas, akan membuat mereka juga paham tentang hubungan seksual yang berisiko. Sehingga tujuan awal yang ingin dicapai dengan melakukan tes keperawanan, akan terwujud dengan cara yang lebih anggun dan tidak diskriminatif. Jika sahabat GueTau ada pertanyaan terkait kontroversi tes keperawanan, silahkan kirimkan ke e-mail info@guetau.com.

 

Ditulis oleh Fatimah

 

Referensi

  1. http://www.dw.de/mengapa-tes-keperawanan-adalah-penghinaan-martabat/a-17038175
  2. http://britabagus.com/kontroversi-tes-keperawan-di-indonesia/
  3. http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-cara-mengetes-keperawanan.html
  4. http://www.rtv.co.id/read/news/115/ayu-utami-tes-keperawanan-calon-polwan-tak-adil
  5. http://batampos.co.id/28-08-2013/tes-keperawanan-dari-sudut-perlindungan-korban/

related post

Menguak 7 Tradisi Seksual dari Berbagai Belahan Dunia

posted on 10/03/2017

“Ada beberapa yang tidak biasa kita lihat.” Beberapa negara memiliki budaya atau kebiasaan terkait hal seksual yang unik. Ya, ha

4 Hal yang Membuat Kamu Perlu Melakukan Tes dan Konseling HIV dengan Segera!

posted on 03/11/2016

Halo Sobat GueTau, gak terasa ya kita sudah memasuki bulan November! Kurang dari sebulan lagi, kita akan merayakan Hari AIDS Sedunia yang bi

Indahnya Melihat Gender sebagai Pelangi

posted on 17/11/2015

Sumber “Seperti warna-warna pada pelangi, gender terbentang pada suatu spektrum, bukan hanya dua kategori biner lelaki-perempuan. “ Halo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *